
Provinsi dengan 38
kabupaten/kota ini total memiliki 23 klub sepakbola profesional. Jumlah
itu terbagi delapan klub di ISL/IPL, serta 15 klub Divisi Utama. Secara
nyata lebih dari separuh kabupaten/kota di Jawa Timur memiliki klub
sepakbola yang berstatus profesional.
Persoalannya, klub-klub
tersebut masih diragukan bisa membiayai operasional dengan dana mandiri
atau tanpa dukungan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Terutama
klub-klub Divisi Utama yang sebagian besar justru berasal dari
kabupaten/kota dengan potensi sponsorship kecil.
Di kancah Divisi
Utama, terdapat sembilan klub di bawah PT Liga Indonesia (KPSI) dan
enam klub anggota PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS). Klub-klub di
level inilah yang paling rawan terkena krisis karena sulitnya menggali
dana, baik dari sponsor maupun tiket penonton.
Blitar misalnya,
memiliki dua klub yang bertanding di liga berbeda, yakni PSBI Kota
Blitar dan PSBK Kabupaten Blitar. Berjejalnya dua klub di wilayah yang
sama, membuat mereka berebut sumber dana di wilayah Blitar yang faktanya
sangat minim. Tak heran keduanya selalu kesulitan menghidupi diri.
Tanda-tanda
lain juga sudah tampak ketika jembut (jember united) menyatakan kesulitan
mencari dana dan ada kemungkinan menjual klub. Kendati memperkirakan
dana operasional klub selama semusim cukup 'murah', yakni sekitar Rp2
miliar semusim, namun Jembut masih pesimistis bisa memenuhi nominal itu.
Kondisi
itu tak hanya dialami jembut, tapi juga beberapa klub lain di
level Divisi Utama. Tidak adanya dana APBD plus rendahnya daya jual klub
di mata sponsor menjadikan klub kebingungan mencari dana. PSBK Blitar,
Perseta Tulungagung, Perseba Bangkalan hingga Persibon Bondowoso belum
jelas sumber dananya.
Ironisnya, walaupun tidak ada jaminan bakal
memiliki modal ke kompetisi, PT LI memasukkan mereka ke Divisi Utama
KPSI yang bergulir Januari mendatang. “Saya tidak yakin klub-klub di
Divisi Utama benar-benar profesional. Mereka rata-rata belum memiliki
sumber dana yang pasti,” ucap pengamat sepakbola asal Malang, Suyitno.
Dengan
dipaksakan mengikuti liga tanpa ada jaminan finansial, menurutnya bakal
memperbesar peluang terjadinya krisis keuangan. Pada akhirnya pemain
bakal menjadi korban ketika kantong klub kempis di tengah jalan, seperti
yang terjadi pada Diego Mendieta.
“Harusnya pengalaman Diego
Mendieta itu dijadikan pelajaran dengan memperketat aturan keuangan
klub. Tapi tampaknya belum ada yang peduli, baik PSSI maupun KPSI.
Mereka mengatakan ada verifikasi, tapi itu tak pernah benar-benar
mengontrol kemampuan klub,” tambahnya.
Selama ini berlaku hukum
logika, bahwa klub yang survive adalah klub dari kota yang memiliki
perusahaan besar. Sayangnya itu juga sudah tidak berlaku. Persik Kediri
yang dulunya akrab dengan perusahaan rokok Gudang Garam, nyatanya
sekarang tak lagi bekerjasama.
Atau Persibo Bojonegoro yang di
wilayahnya bercokol perusahaan minyak asing Exxon, justru tak pernah
merasakan hubungan sponsorship. Bisa dibayangkan bagaimana susahnya klub
yang berasal dari kabupaten/kota yang tidak memiliki potensi apa pun.
“Mengandalkan pengusaha juga belum terjamin kelangsungannya,” cetus
Suyitno.
Kondisi seperti itulah yang membuat sepakbola
profesional kembali dalam pertaruhan besar musim depan. Jika situasinya
tidak lebih baik dibanding musim lalu, maka lagi-lagi pemain yang bakal
menjadi korban. Mereka harus bersiap tidak menerima gaji selama
berbulan-bulan.(sh)