
"Saya sendiri
masih belum yakin wacana merger yang sedang hangat dibicarakan, jadi
solusi terbaik buat tim. Apalagi, dualisme kompetisi terus berlanjut dan
dilegalkan. Jadi kondisinya sulit," kata Sekum Pengprov PSSI DIY Dwi
Irianto, Selasa (25/9/2012).
Diakuinya, merger klub memiliki
banyak keuntungan. Dengan satu syarat, merger tidak hanya melibatkan
PSIM dan PSS, melainkan juga melibatkan Persiba Bantul. Dengan begitu,
klub hasil merger otomatis berlaga di kasta tertinggi.
"Kalau
cuma meleburkan PSIM dan PSS buat apa. Mereka berada di level yang sama
Divisi Utama. Jadi, kalau memang harus ada merger, ya Persiba juga harus
disertakan. Sehingga nanti klubnya hanya satu dan bermain di kasta
teratas," terangnya.
Dwi menjelaskan, merger menjadi satu klub
saja tidak akan mempengaruhi pembinaan di Kota Pelajar. Sebab, nantinya
setiap kabupaten/ kota bakal berlomba membentuk pemain untuk menyuplai
klub profesional asal DIY. "Hal ini justru akan memicu lahirnya
klub-klub amatir baru yang bakal berlaga di Divisi 1, 2 dan 3,"
jelasnya.
Dia menambahkan, yang perlu diingat, merger belum
tentu menjadi solusi cerdas. Karena Joint Committee (JC) sudah resmi
membiarkan dualisme kompetisi berjalan hingga 2014 atau 2015. Situasi
itu tak menjamin menambah gairah korporasi untuk berinvestasi di
sepakbola.
"Dualisme kompetisi tetaplah akar masalah yang harus
sesegera mungkin dicabut. Selama masih ada dualisme kompetisi niscaya
klub Indonesia bakal terus kesulitan dana. Dan membicarakan merger saat
ini juga tidak cukup, terlalu mepet," imbuhnya.
Pendukung kedua
tim sendiri terbelah. Brajamusti, pendukung PSIM tegas menolak wacana
ini. Sedangkan Slemania, pendukung PSS membuka diri. Meski pun mereka
sadar tidak mungkin dilakukan saat ini. "Paling tidak 2-3 tahun lagi,"
kata Ketua Slemania Supriyoko.
(akr)