Share |

Kata Dokter , aku Terlalu Banyak Pikiran karna gaji gak Dibayar , Ungkap Diego Mendieta di suatu Hari di Bulan November ,.....

Diego Mendieta tak hanya meninggalkan istri dan tiga anak, tapi juga catatan kelam bagi klub-klub sepak bola kita: gaji menunggak berbulan-bulan.
Miris, tragis. Mendieta menghembuskan nafas terakhir di RS Moewardi Solo, Senin (3/12) malam. Informasi yang diterima menyebutkan, pemain kelahiran Paraguay 13 Juni 1980 bernama lengkap Diego Antonio Mendieta di Assuncion meninggal lantaran penyakit tifus dan infeksi saluran pencernaan..
Selama sakit, Mendieta tak punya uang untuk beli obat. Dia sama sekali tak punya simpanan dana, lantaran klub yang dibelanya belum mencairkan gaji dan itu sampai berbulan-bulan. Terakhir, striker jangkung itu membela Persis Solo versi PT Liga Indonesia. Prihatin dengan Mendieta, Pasoepati, fans setia Persis, menggalang aksi dana. Hanya saja, tak cukup, sebab Mendieta butuh dana banyak untuk biaya perawatan.
Mendieta, dengan kondisi keuangan megap-megap, bertarung dengan penyakit. Doa-doa dipanjatkan, berharap Mendieta segera sembuh. Namun apa boleh buat, takdir berkata lain. Mantan pilar Persitara Jakarta Utara pergi untuk selama-lamanya. Belum diketahui di mana Mendieta akan dikebumikan. Istri dan anaknya kini berada di Paraguay.

Di Indonesia, tak hanya Mendieta yang pusing memikirkan gaji. Harus diakui, sebagian besar klub, baik yang berada di bawah PT Liga maupun PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) tak punya dana cukup untuk membayar gaji dan pelatih. Yang menyedihkan, di tengah kondisi seperti ini, kisruh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia – Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) belum juga usai. Sebagai institusi tertinggi sepak bola, PSSI dan KPSI seharusnya lebih fokus memikirkan nasib klub maupun pemain, ketimbang kepentingan masing-masing. Kalau kata Agum Gumelar, Mantan Ketua Umum PSSI, kedua kubu jangan mengedepankan ego. Di Indonesia, pemain tak hanya dituntut loyal kepada klub, tapi juga harus sering mengelus dada lantaran hak yang seharusnya diterima tiap bulan tak berjalan sesuai perjanjian.
“Kata dokter, aku terlalu banyak pikiran. Bagaimana tidak banyak pikiran, kalau gaji belum lunas,” kata Mendieta pada suatu hari di bulan November silam. Seandainya saja gaji lancar dan Mendieta punya uang cukup untuk berobat, mungkin ceritanya bisa lain. Soalnya, karena tak ada uanglah, Mendieta memutuskan untuk keluar dari rumah sakit. Akan tetapi, sakit yang terus menggerogoti memaksanya untuk kembali masuk perawatan.
Kita berharap, tak ada lagi Mendieta-Mendieta yang lain. Ini menjadi pelajaran, khususnya bagi klub. Biar bagaimana pun, klub harus bertanggungjawab memenuhi apa yang menjadi hak pemain. Karena tanpa itu, muskyil pemain bisa bermain maksimal. Bukankah mereka juga punya keluarga yang harus dihidupi?
Selamat jalan, Mendieta. Tenanglah di alam barzah sana.
Share on Google Plus

About 12paz