Share |

Tiket Penonton Belum Bisa Hidupi Klub


ISL 2009-2010 telah memasuki musim kedua. Sudah selayaknya, dengan brand "super", pergelaran itu benar-benar istimewa jika dibandingkan dengan kostum lama, Divisi Utama. Salah satu indikasinya, persoalan finansial. Setiap klub wajib bersikap lebih profesional untuk menggalang dana.

Nah, pemasukan tiket diharapkan bisa menjadi pendongkrak pendapatan. Simak saja jumlah tiket yang dituai saat Sriwijaya FC menjamu Persija Jakarta di Gelora Sriwijaya, Palembang. Laga yang digeber pada 8 Oktober 2008 itu ditonton 40 ribu penonton.

Tiket dijual dengan harga Rp 10 ribu. Maka, panpel bisa meraup Rp 400 juta. Berdasar jadwal yang dirilis PT Liga Indonesia (PT LI), tiap tim melakoni laga tandang sampai 17 kali. Anggap saja, panpel harus menganggarkan biaya Rp 200 juta untuk pelaksanaan. Jadi, sisa pendapatan tinggal separo. Bisa diprediksi bahwa klub akan mengantongi pendapatan Rp 3,4 miliar dalam semusim.

Jumlah tersebut menyiratkan bahwa pemasukan melalui tiket sangat besar. Jadi, klub tak perlu menyusu kepada APBD. Tapi, banyak klub yang belum bisa mengakomodasi potensi tersebut. Tingkat kehadiran penonton sering tak berbanding lurus dengan pendapatan klub. Stadion dipenuhi pendukung fanatik, tapi pemasukan tak lantas menggelembung.

Perhitungan itu tetap tak berlaku bagi klub-klub yang memasuki musim kedua kompetisi. Sangat sedikit klub yang berani menargetkan pemasukan di atas Rp 5 miliar dari penjualan tiket dalam semusim. Termasuk tim-tim besar yang memiliki suporter melimpah. Misalnya, Persib Bandung, Persija Jakarta, Sriwijaya FC, dan Persebaya Surabaya. Malah, sejak awal, Persebaya mengklaim rugi saat bertanding di kandang.

Rupanya, terjadi banyak kebocoran tiket. Persik Kediri selalu mendapatkan dukungan penuh dari publiknya. Tapi, musim lalu, Persik hanya bisa mengantongi sekitar Rp 90 juta per pertandingan. Begitu pula dengan Persela Lamongan. ''Petugas keamanan sering memasukan saudara atau teman-teman mereka tanpa tiket,'' ujar mantan Ketua Panpel Persela Djonot Subagio. Selain itu, siaran langsung juga menjadi salah satu penghambat pemasukan tiket.

Panpel Persijap Jepara mengklaim bahwa mereka kehilangan potensi pemasukan sampai Rp 600 juta karena tayangan langsung pertandingan di televisi. Jumlah tersebut dihitung melalui perbandingan jumlah pendapatan saat pertandingan tidak disiarkan. Jumlah penonton saat Laskar Kalinyamat menjamu Pelita Jaya (14/10) di Gelora Bumi Kartini (GBK) mencapai 11.733 penonton. Pendapatan tiket tercatat Rp 224,4 juta. Pengeluaran mencapai Rp 124 juta. Saat itu, tidak ada siaran langsung.

Pendapatan fantastis tersebut tak dialami Persijap pada tiga laga kandang lainnya. Yakni, melawan Bontang FC (28/10) dengan penonton 4 ribu penonton, kontra Persisam (1/11) dengan 5.600 penonton, dan melawan Persitara Jakarta Utara (17/10) dengan 2.500 penonton.

Stadion berkapasitas 17 ribu penonton tersebut menjadi tampak sepi. Pemasukan juga terjun bebas. Menurut Soetedjo, pendapatan saat melawan Persitara hanya Rp 39,6 juta. Kompensasi dari PT LI sebesar Rp 25 juta menjadi tak sepadan. Maklum, panpel juga dijatah supaya bisa mengeruk pendapatan mencapai Rp 4,5 miliar selama semusim ini.

''Seharusnya, kami bisa mendapatkan minimal Rp 200 juta tiap pertandingan. Tapi, karena ada siaran langsung, kami tak mendapatkan pemasukan sebesar itu,'' ungkap Ketua Panpel Persijap Soetedjo.

Dia melaporkan langsung keluhan tersebut kepada PT LI. Dalam surat resminya, Persijap meminta agar jatah siaran langsung dikurangi. Pada putaran pertama ISL 2009-2010, Persijap mendapatkan jatah enam kali siaran langsung.

Bagaimana sikap PT LI? Kebocoran tiket diantisipasi dengan penyampaian regulasi yang menyangkut kehadiran penonton di stadion. Mulai laga perdana ISL musim kedua ini, PT LI mewajibkan panpel untuk melampirkan detail tiket yang terjual. Panpel juga harus menyediakan petugas khusus yang mencatat arus keluar penonton di pintu masuk.

Persoalan itu cukup krusial. Sebab, masalah tersebut bisa menjadi penentu kebijakan di tataran Asia. ''Laporan itu akan menjadi pegangan AFC dalam melakukan assesment dua tahunan pada liga profesional anggotanya,'' jelas CEO PT LI Joko Driyono. (vem/ko)
Share on Google Plus

About 12paz