Share |

Persija vs Persebaya : Duel El Classico !!


Ada banyak pertandingan yang berstatus bigmatch dalam kompetisi sepakbola Liga Indonesia. Namun hanya sedikit yang bisa disebut el-classico alias partai klasik. Yang sedikit itu salah satunya adalah Persija Jakarta kontra Persebaya di Gelora Bung Karno, Senayan, Minggu (29/11/2009).

Menyebut sebuah pertandingan dua tim sebagai laga klasik tentu ada parameternya. Jika mengacu apa yang dijelaskan Andy Mitten dalam buku Mad for It: From Blackpool to Barcelona, Footvall's Greatest Rivalries, laga Persija versus Persebaya memang layak disebut klasik. Sebuah pertandingan disebut klasik, jika perseteruan dua tim sudah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun dan melibatkan emosionalitas melebihi sepakbola itu sendiri.

Mari kita simak, mengapa Persija kontra Persebaya bisa disebut el-classico ala Indonesia. Pertama, usia kedua tim itu sudah termasuk tua dalam ukuran sepakbola Indonesia. Tahun ini, Persija merayakan hari jadi ke-80. Sementara, Persebaya pada 18 juni lalu sudah berusia 81 tahun. Keduanya sudah saling bertumbukan dalam kompetisi sepakbola nasional bergengsi (dulu perserikatan).

Hasilnya, Persebaya juara perserikatan lima kali, dan Persija Jakarta (sejak masih bernama VIJ Jakarta di zaman Belanda) sudah menyabet 8 kali gelar juara. Salah satu gelar juara Persija adalah gelar juara bersama dengan PSMS Medan pada kompetisi musim 1973/1975.

Sejak kompetisi di masa kolonial, Persebaya dan Persija sudah saling gempur di babak penentuan. Tahun 1938, VIJ Jakarta mengalahkan Persebaya di final perserikatan di Solo. Tahun 1951, giliran Persebaya menjadi juara, dan Persija runner up. Begitu juga tahun 1952, Persebaya menjadi juara back to back, mengangkangi Persija.

Kompetisi tahun 1973, giliran Persija menjadi juara, dan Persebaya cukup puas di posisi kedua. Namun dalam kompetisi tahun 1978, giliran Persebaya menjadi juara, dan Persija berada di peringkat kedua.

Tahun 1980, perserikatan memasuki era baru. El-classico kembali terjadi di final 1987/1988 di Senayan. Saat itu Persebaya menuntaskan Persija Jakarta dengan skor 3-2.
Tahun 1988 melahirkan banyak sejarah baru. Di tahun itulah, julukan Green Force dan Bajul Ijo mulai disematkan untuk Persebaya. Di tahun itu pula, sejarah tradisi away supporters tercipta: 25 ribu pendukung Persebaya yang belakangan disebut Bonek untuk pertama kali mengalir dari Jawa Timur ke Jakarta dengan kereta api dan bus.

Sebagian dikoordinasi oleh Harian Jawa POs dan Persebaya yang berangkat dari Surabaya. Sebagian lainnya adalah warga Jawa Timur yang menanti kereta api dari Surabaya di stasiun kota masing-masing, untuk berangkat ke Jakarta bersama pendukung dari Surabaya.

Alasan kedua, partai Persija versus Persebaya bisa disebut klasik tentu saja karena emosionalitas kedaerahan yang kadang berbau politis. Persija sebagai tim ibu kota sejak lama selalu dipandang sebagai sosok yang dominan dan 'dimanjakan' PSSI. Tak hanya dalam urusan sepakbola perserikatan, dalam final sepakbola Pekan Olah Raga Nasional, DKI Jakarta yang banyak diisi pemain-pemain Persija seolah menjadi musuh bersama. Pendukung-pendukung kesebelasan yang berseteru, seperti Surabaya dan Bandung, bisa bersatu sementara waktu jika salah satu dari tim kesayangan mereka bertemu dengan tim Jakarta di partai penentuan.

Aspek kedaerahan ini tak hilang, setidaknya dari pendukung kesebelasan Persebaya dan Persija, kendati Liga Indonesia memasuki era profesional. Era profesional justru menandai era baru perseteruan itu. Perseteruan keras antar pendukung Persebaya dan Persija sebenarnya justru nyaris tak ada dalam perserikatan tempo doeloe, karena Persija dikenal sebagai kesebelasan kuat tanpa pendukung kuat.

Namun dalam era Liga Indonesia, perseteruan pendukung Persebaya dengan Persija justru menguat, menggantikan perseteruan klasik bobotoh Bandung dengan Bonek. Persija kita memiliki pendukung yang tak kalah besar dan menamakan diri Jakmania. Terakhir dalam kompetisi tahun 2005, Bonek dan Tha Jak terlibat bentrok keras di Jakarta.

Alasan ketiga, aspek prestasi. Dalam era perserikatan, Persija Jakarta boleh saja menggenggam prestasi juara lebih banyak daripada Persebaya. Namun dalam era profesional yang dimulai sejak 1994/1995, prestasi Persebaya lebih kinclong. Bajul Ijo sukses dua kali mengangkat tropi juara pada kompetisi tahun 1996/1997 dan tahun 2004. Ini tim pertama yang sukses dua kali menjad juara Liga Indonesia. Sementara Persija Jakarta hanya berhasil meraih juara tahun 2001.

Yang menarik, kedua tim baru bisa juara setelah saling mengalahkan dalam fase menentukan. Tahun 2001, Persija berhasil mencapai babak final setelah dalam semifinal membungkam Persebaya 2-1. Namun, tahun 2004, Persebaya berhasil menjadi juara setelah dalam kompetisi penuh, setelah pada partai terakhir yang menentukan di Gelora 10 November, tim Bajul Ijo menjinakkan Macan Kemayoran 2-1.

Alasan keempat perseteruan Persebaya dan Persija disebut klasik, adalah dalam hal pembentukan tim. Persija era profesional tak ubahnya Real Madrid di Spanyol yang jor-joran membeli pemain hebat. Jarang sekali Persija memberikan kesempatan kepada pemain-pemain binaan klub internal untuk mencuat. Sederet pemain bintang berharga mahal pernah mampir dan masih bermain di Persija: Bambang Pamungkas, Ponaryo Astaman (sekarang pindah ke Sriwijaya), Ismed Sofyan, Aliyuddin, dan lain-lain.�

Berbeda dengan Persebaya. Kendati juga membeli pemain-pemain bagus, terutama asing, Persebaya tak pernah melupakan aspek pembinaan internal. Bak Barcelona yang mengandalkan Akademi La Masia, Persebaya mengandalkan pemain hasil kompetisi internal untuk mengisi sebagian besar skuadra Bajul Ijo. PSSI bahkan pernah menyebut kompetisi internal Persebaya sebagai kompetisi pembinaan internal terbaik di Indonesia.

Dengan pembinaan internal yang berjalan rapi, Persebaya tak kekurangan pemain-pemain muda handal. Trofi Liga Indonesia 1997 dimenangkan tim yang berisi sebagian besar pemain internal. Sebut saja: Anang Ma'ruf, Sugiantoro, Reonald Pieterz, Mursyid Effendi, dan beberapa nama lain, yang saat itu masih berusia 20 tahunan. Para pemain hasil binaan internal Persebaya juga menghiasi sejumlah tim Liga Indonesia.

Dengan hasil pembinaan internal, Bonek tak pernah kehabisan pemain idola. Setelah era Sugiantoro habis, kini Bonek menemukan sosok idola pada si kecil Andik Vermansyah.

Kompetisi Liga Indonesia 2009/2010, tim Persebaya masih didominasi hasil kompetisi internal. Sebut saja: Endra Prasetya, Nugroho Mardiyanto, M. Sofy Hermawan, Sunaji, Taufik Angga. M. Taufiq, Lucky Wahyu, Mat Halil, Anang Ma'ruf, Andik Vermansyah, Arif Ariyanto, Erfan Hidayatullah, Wimba Sutan.

Total jenderal: ada 13 pemain dari 26 pemain di skuad Persebaya yang merupakan hasil pembinaan sendiri. Ini berarti 50 persen skuad Persebaya diisi pemain asli Karanggayam (markas Persebaya).

Alasan terakhir tentu saja masalah pertarungan mental. Dalam urusan pertarungan mental, setidaknya di musim ini, Persebaya sedikit di atas Persija. Dengan didominasi pemain-pemain muda usia binaan sendiri, faktor determinasi Persebaya lebih kuat. Dalam kondisi tim compang-camping, karena banyak yang cedera, anak-anak Surabaya menunjukkan mental yang tergolong kuat (kalau tak ingin disebut mental juara).

Mari simak: Kekecewaan karena dihajar 1-4 di kandang PSPS Pakanbaru seolah tak terlihat, dan dengan permainan yang apik, Persebaya ganti menghajar Persitara 2-1 di kandang lawan. Saat tertinggal dua kali dari Persiwa (0-2 dan 2-4), Persebaya justru bisa membalik keadaan menjadi 5-4. Kendati akhirnya kalah 0-1, anak-anak muda Persebaya juga membikin repot Persipura yang diisi pemain-pemain senior berpengalaman.

Semua fakta di atas tentu akan semakin membuat sedap pertandingan 'El-Classico' di Senayan, Minggu sore. Siapapun yang menang, kita berharap pertandingan berjalan seru dan aman. Sejauh ini, kendati ada larangan Bonek untuk datang ke Jakarta, tak ada yang bisa menjamin para pendukung Persebaya bakal tak hadir di Senayan. Sejarah membuktikan, Senayan ibarat kandang kedua bagi Persebaya dan Bonek. Kita hanya berharap, semua pihak mengendalikan diri dan aparat keamanan bisa meminimalisasi kemungkinan terburuk dari persentuhan dua suporter fanatik nanti. [wir]

Share on Google Plus

About 12paz