Rocky Poetiray cukup familier bagi publik sepak bola Solo dalam beberapa tahun terakhir. Jadi, tak sulit mencari pemain asal Ambon, Maluku, tersebut di Kota Bengawan, julukan Solo.
Di salah satu kamar dalam bekas mes Arseto Solo di Kadipolo, Laweyan, Solo, Rocky sering menghabiskan waktu. Di tempat itu pula dia mendidik pesepak bola junior untuk disalurkan ke klub dan tim nasional Indonesia.
"Membanggakan sekali bisa berprestasi baik untuk klub, apalagi timnas. Mimpi itu yang berusaha saya wujudkan sekarang dengan mencetak pemain muda seperti saya dulu," ujar Rocky kepada Radar Solo (Jawa Pos Group) saat ditemui Jumat (20/11).
Sekitar mes yang dilengkapi dengan sebuah lapangan besar itu mempermudah Rocky untuk menyalurkan bakat. Di tempat tersebut, dia punya sebuah klub yang dibinanya, R-21.
Tak sulit masuk sebagai anggota klub binaan langsung mantan pemain timnas PSSI Garuda II itu. Imbasnya, ratusan orang masuk sebagai anggota klub.
Bahkan, kini mereka memperkuat beberapa klub, seperti Aditya di Persis Solo dan Asmat di Persiram Raja Ampat. Keduanya mampu menunjukkan kemampuan terbaik sebagai wakil R-21 di klub profesional.
Tak lagi menjadi pemain di lapangan membuat Rocky banting setir sebagai pelatih klub lokal. Sayang, pria yang pernah berposisi sebagai striker itu tak memiliki sertifikat kepelatihan.
"Saya sudah berulang-ulang diminta banyak pihak, mulai kenalan sampai PSSI. Tapi, saya tidak bersedia dan hanya mengandalkan pengalaman dulu sebagai pemain untuk melatih," beber dia.
Tidak memiliki sertifikat kepelatihan tak membuat Rocky kurang maksimal. Bahkan, dia menarget bisa mencetak atlet andal bagi timnas.
Keprihatinan pada pemain timnas U-19 saat ini menjadi alasan kuat bagi Rocky. Menurut dia, para pemain muda Indonesia kini kurang bertanggung jawab.
Berlatih di Uruguay selama hampir satu tahun tidak membuat penampilan Syamsir Alam dkk lebih baik. Kemampuan mereka seharusnya meningkat signifikan setelah belajar di negeri orang karena segala keperluan telah disediakan PSSI.
Namun, sarana dan prasarana yang lengkap serta kebutuhan makanan dan kesehatan yang tersedia tidak mereka manfaatkan secara maksimal. Alhasil, ilmu yang mereka dapat di Uruguay hanya setengah hati.
Di sisi lain, penjaringan pemain muda oleh PSSI untuk dikirim ke luar negeri terlalu dipaksakan. Dengan stok melimpah di berbagai daerah, PSSI sering salah dalam menunjuk pemain.
"Khususnya soal tanggung jawab, para pemain seharusnya tahu bahwa kebutuhan mereka selama belajar sudah dilengkapi. Jadi, harus ada peningkatan setiap hari. Puncaknya saat timnas benar benar berlaga di ajang resmi," bebernya.
Situasi itu juga yang diterapkan saat timnas PSSI Garuda II menimba ilmu di Rep Ceko pada 1989-1990. Catatan peningkatan pemain akan dibawa pulang ke Indonesia untuk ditunjukkan kepada masyarakat saat tampil di laga resmi Indonesia.
Seperti halnya timnas, perlakuan sama diterapkan oleh Rocky saat membela klub, khususnya saat bermain bagi tim luar negeri. Instant-Dict, Kitchee FC, South China AA, semuanya dari Hongkong, pernah merasakan sentuhan magisnya.
Sayang, upaya melebarkan sayap ke liga lain di Prancis dengan bergabung besama klub Auxerre kandas. Meski begitu, Rocky tetap memiliki kenangan bermain di tim luar negeri.
"Gawang dua tim raksasa Serie A Italia, yakni Sampdoria dan AC Milan, saat tur ke Asia pernah saya bobol. Itu merupakan pembuktian kualitas pemain timnas yang belajar di luar negeri," tegas dia. (diq)JAWAPOS.