
Menurut SOS, timnas harus dikelola oleh ahli yang mengelola manajemen timnas, bukan politisi ‘serabutan’.
“Kami sangat menyayangkan hal itu terjadi, di mana lagi-lagi politisi ikut campur dalam urusan persepakbolaan negeri. Hal itu adalah pengkhianatan cita-cita revolusi PSSI, karena PSSI justru menjadikan politisi sebagai manajer timnas,” ungkap anggota SOS, Apung Widiadi yang juga aktivis Indonesian Corruption Watch (ICW).
Pengangkatan Ramadhan itu sendiri diduga sebagai cara untuk melancarkan sumbangan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara(APBN) untuk timnas yang saat ini dihentikan Menpora.
“Jika demikian, tentu saja ini pilihan yang naif, dimana cara-cara politik dan personal justru dilakukan untuk memperkuat kelembagaan PSSI itu sendiri. Perlu dicatat, memasukkan politisi ke PSSI bukan jalan keluar, namun bencana baru untuk persepakbolaan Indonesia,” lanjut Apung.
Dalam pernyataannya, SOS telah melihat adanya hal-hal janggal dalam penunjukan Ramadhan sebagai manajer. Yang pertama, pemilihan manajer timnas dilakukan secara tertutup dan sepihak oleh PSSI dan penanggung jawab timnas, Bernard Limbong. Cara ini di nilai sangat lekat dengan subyektivitas dan kepentingan politik.
Yang kedua, penunjukan tersebut tidak berdasarkan kebutuhan teknis timnas, akan tetapi lebih pada orientasi politik dalam pencairan APBD untuk timnas.
Dan yang ketiga, dalam pemilihannya, Ramadhan Pohan tercatat sebagai calon tunggal. Tidak ada nama lain yang diusulkan selain nama ini, seharusnya ada uji kompetensi dan kelayakan yang dilakukan.
Terakhir, penujukan Ramadhan Pohan dinilai pemperlihatkan kegagalan Bernard Limbong sebagai penanggung jawab timnas.
Menurut Komunitas Aktivis Sepakbola ini, langkah PSSI dalam hal penunjukan Ramadhan sebagai manajer timnas merupakan sebuah ancaman independensi PSSI dan timnas sehingga SOS menuntut pembatalan keputusan tersebut dan menolak politisi mengurusi sepakbola.
Saat ini masih ada beberapa politisi yang masih aktif dalam kepengurusan PSSI. SOS meminta PSSI lebih memilih sosok-sosok yang ahli dalam pengelolaan program-program PSSI dan bukan politisi yang bekerja ‘serabutan’.