Share |

APBD disetop, Persiba Bantul siap 'jual diri'


Persiba Bantul siap menjual profesionalisme dan prestasi dalam mendapatkan sponsor menyusul resminya pelarangan penggunaan APBD untuk klub sepak bola profesional.

“Kami [Persiba] optimistis mendapat sponsor karena prestasi Persiba merupakan nilai jual tinggi,” ungkap Wakil Manajer Persiba, Briyanto, melalui telepon, Jumat (27/5) malam.

Briyanto menambahkan nilai jual lainnya dilihat dari antusias yang tinggi suporter Persiba saat menyaksikan pertandingan. “Di Manahan Solo, stadion dipenuhi dengan suporter Persiba. Itu juga nilai jual pendukung Persiba sangat banyak,” katanya.

Pemerintah sejak pekan lalu memang resmi menghentikan pengucuran dana APBD untuk klub sepak bola mulai 2012 melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No.22/2011. Rencananya, aturan akan disosialisasikan melalui sekretaris daerah se-Indonesia pada 7 Juni mendatang.

“Enggak boleh lagi. Kalau masuk lagi kami coret,” kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, seperti dikutip dari detikcom, Jumat kemarin. Hal itu ditegaskan Gamawan apabila masih ada daerah yang akal-akalan menggunakan APBD untuk sepak bola profesional.

KPK juga mengamini pelarangan APBD untuk sepak bola. Dalam analisisnya ada tiga temuan yakni, pertama, dilanggarnya asas umum pengelolaan keuangan daerah pada pengelolaan dana APBD bagi klub sepak bola. Kedua, adanya rangkap jabatan pejabat publik pada penyelenggaraan keolahragaan di daerah yang dapat menimbulkan konflik kepentingan

Ketiga, dilanggarnya prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan hibah dari APBD. Permasalahan tersebut secara umum mengakibatkan alokasi anggaran hibah kepada klub sepak bola menjadi tidak adil jika dibandingkan dengan alokasi untuk beberapa urusan wajib lainnya.

Masa depan suram
Berbeda dengan Persiba, kubu PSIM Jogja justru memperkirakan masa depan sebagian besar klub sepak bola bakal suram tanpa APBD. Klub sulit bertahan dan berprestasi karena kebutuhan tim selama ini masih dari APBD.

Direktur Operasional PSIM Jogja Hans Poerwanto mengatakan ada beberapa hal yang menyebabkan sulitnya mendapatkan sponsor. Selain nilai jual kompetisi di Divisi Utama lebih rendah dbanding Indonesian Super League (ISL), DIY bukan kota industri besar.

Industri didominasi pengusaha kecil. “Nilai jual untuk sponsor rendah, apalagi Jogja bukan kota industri, saya kira ke depan bakal suram,” ujar Hans. Dia menceritakan manajemennya pernah mengajukan sponsor ke sebuah perusahaan air mineral namun prosedurnya berbelit dan sulit karena nilai jual klub rendah.

Namun, PSIM akan terus berupaya mencari sponsor. “Soal masa depan dilihat saja nanti. Bagaimanapun harus siap. Sampai sekarang kami masih tetap berupaya mencari sponsor,” katanya.

Manajer Keuangan PSS Sleman Samsidi juga mengakui nlai jual klub sepak bola rendah dan menjadi pengganjal untuk mendapatkan sponsor. Selama ini saja, kata dia, nyaris kebutuhan sepak bola klubnya hanya menggantungkan dana dari APBD sebesar Rp2,5 miliar per tahun.

“Kalau sponsor khusus tidak ada, karena apa? Nilai jualnya rendah. Selama ini memang ada sponsor tapi paling untuk kebutuhan misalnya minuman,” katanya. Namun, Samsidi menegaskan PSS tak kaget dengan kebijakan tersebut karena klubnya pernah pada 2008/2009 tak disokong dana APBD namun masih tetap dapat bertahan.
Langkah 'jual diri'

Mengutip pemberitaan detikcom, ada empat langkah yang dijabarkan pakar marketing sekaligus pengamat olahraga, Fritz E Simandjuntak, untuk bisa ditempuh klub dalam 'menjual diri' kepada para calon sponsor.

“Pertama, klub sepak bola wajib mampu membangun karakter dan prestasi baik dari klubnya sekaligus diasosiasikan dengan masyarakat di mana jadi basis klub itu,” ungkapnya. Kedua, karakter dan prestasi kemudian dikemas untuk dijual kepada produk atau sponsor yang dituju.

Ketiga, bangun hubungan yang intens dengan suporter. “Kasih kesempatan suporter memberikan masukan tentang pola permainan dan pemain yang harus direkrut,” tegasnya. Dan keempat, klub diharuskan bisa membuktikan nilai nyata dan tidak nyata kepada sponsor.

Peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW), Apung Widadi, mengatakan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menegpora) dan Komite Normalisasi selaku penggerak Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) saat ini wajib memandu semua klub untuk berdiskusi soal pelarangan APBD itu.

“Hanya tinggal butuh waktu enam bulan supaya klub-klub itu bisa berubah. Mengingat banyak klub sudah terbiasa dengan APBD, sosialisasi dan membantu klub untuk membiasakan diri dengan hal tersebut juga perlu dilakukan,” ungkapnya seperti dikutip dari detikcom.

Apung menilai, Menegpora dan KN harus mampu menuntun klub-klub untuk mencari sponsor. Pedoman dan peraturan bagaimana cara mencari sponsor itu pun harus segera dikeluarkan oleh Menegpora dan KN.

“Yang bisa dijadikan contoh Persib dengan banyaknya konsorsium. Pedoman [untuk mencari sponsor] itu harus dikeluarkan oleh Menegpora dan KN karena mau tak mau akan banyak penolakan dari klub. Bagaimana agar tidak ada penolakan? Menteri dan KN harus membuat pedoman itu,” tukas Apung.(/Jumali)
Share on Google Plus

About 12paz