"Menghadapkan pemain dengan pemain bukan hal yang cerdas dan
bijaksana. Hal tersebut bukan masalah siapa yang takut kalah atau siapa
yang merasa di atas angin. Bola itu bundar, tim yang di atas angin tidak
selama menang. Begitu juga sebaliknya, tim yang diremehkan seringkali
mampu memutar prediksi banyak orang."
Demikian
diucapkan bintang tim nasional Indonesia, Bambang Pamungkas, menyoroti
langkah KPSI yang berencana mengadu timnas bentukannya dengan PSSI
beberapa waktu lalu. Bepe - sapaan Bambang Pamungkas - sadar, sepak bola
Indonesia saat ini membutuhkan persatuan bukan perpecahan dan konflik
tiada henti yang terus terjadi saat ini.
Pernyataan
Bepe bukan tanpa alasan. Ratusan juta masyarakat Indonesia saat ini
rasanya sudah bosan dengan perseteruan PSSI dan KPSI yang tiada henti.
Harusnya para pengurus kedua kubu tersebut sadar masalah krisis prestasi
timnas saat ini jauh penting daripada agenda pribadi, kelompok, atau
pengusaha bisnis tertentu.
Bayangkan saja,
sejak prestasi terakhir didapatkan pada 1991 silam, ketika skuad "Merah
Putih" meraih emas SEA Games 1991 di Manila, apakah publik pernah
melihat tegaknya kepala anak bangsa dalam podium kemenangan sepak bola?
Tidak! Justru yang ada, tundukan lesu para penggawa timnas di podium
kekalahan selalu ditayangkan di media nasional sejak 21 tahun lalu.
Bepe
menilai, jika pertandingan uji coba tersebut benar-benar terealisasi
maka bukan "pertarungan" sepak bola indah yang tersaji dalam lapangan
sepak bola. Justru, menurutnya, yang ada hanya "pertumpahan darah" dan
"pertempuran" ego dari sejumlah pengurus yang bertikai.
"Ini
mengenai harga diri dan ego. Harga diri dan ego siapa? Mereka-mereka
yang duduk di atas sana. Sedangkan pemain? Hanya menjadi tumbal
keserakahan dan para pemimpin persepakbolaan negeri ini," kata Bepe
seperti dikutip dari situs resmi pribadi miliknya.
Pemain
Sejatinya, dalam seluruh rangkaian konflik panjang
dalam dunia sepak bola Indonesia ini kurang logis jika pelatih dan
pemain yang disalahkan. Para pengurus yang berseterulah yang harus
dituntut tanggung jawabnya. Tidak ada kebesaran hati untuk membangun
sepak bola Indonesia bersama-sama.
Tanggung
jawab prestasi ini ada di pundak para pengurus federasi sepak bola.
Pasalnya, mereka yang mengurusi pembinaan, persiapan, kompetisi,
penyediaan fasilitas, hingga pendanaan. Sementara itu, kondisinya kini,
kompetisi karut marut, pertikaian tiada henti yang berujung pada mati
surinya prestasi Ibu Pertiwi.
Bepe mengatakan,
setiap pemain pasti memiliki alasan mengapa mereka mengambil keputusan
untuk bergabung dengan timnas, baik di Malang (KPSI) maupun di Jakarta
(PSSI). Meskipun, pria kelahiran 10 Juni 1980 ini menilai pemain juga
turut serta dalam memelihara perpecahan yang selama ini terjadi.
"Tapi,
ketika semua pemain dapat bersatu dan menyuarakan hak-hak kita untuk
membela timnas secara bersama-sama, maka bukan tidak mungkin kita dapat
berperan dalam mencari jalan keluar terbaik bagi segala permasalahan
pesepakbolaan kita ini," harap Bepe.
Hati
Melihat
sejumlah fakta yang terpampang jelas di depan mata publik sepak bola,
pertanyaan besar harus disematkan kepada para pengurus sepak bola
Indonesia. Sebanyak 240 juta masyarakat Indonesia pasti sadar bahwa dari
Sabang sampai Merauke, tersimpan banyak talenta emas sepak bola yang
bisa menghadirkan prestasi bagi bangsa.
Tetapi,
hingga saat ini tak ada tindakan yang lantang dari sejumlah pengurus
sepak bola untuk persoalan krusial ini. Jika berbicara soal jabatan dan
kursi, barulah mereka lantang berbicara. Penyelesaian sejumlah masalah
sepak bola negeri ini pun lebih mirip langkah yang diambil seorang
politisi dibanding pamong olahraga sejati.
"Saat
para pemain sebangsa dan senegara saling cabik di lapangan, bagai ayam
aduan. Bapak-bapak di atas tribune VVIP tersebut akan menyaksikan
pertandingan sambil harap-harap cemas menunggu siapa yang akhirnya
tersungkur. Setelah itu mereka yang akan membusungkan dada dan bertepuk
tangan dengan puas," ujar Bepe.
Padahal, banyak
contoh dari sejarah masa lalu yang dapat dijadikan pelajaran bagi
sejumlah pengurus sepak bola Indonesia. Lihat saja, memori kegemilangan
prestasi Indonesia dahulu kala yang membuat Indonesia disegani di kancah
sepak bola Asia maupun dunia. Belum lagi dengan julukan "Macan Asia"
yang kini hanya tinggal kenangan semata.
Kepekaan
sebagai warga negara yang ingin timnasnya beprestasi tampaknya harus
ditanamkan kepada sejumlah pengurus PSSI maupun KPSI. Sejumlah pengurus
yang bertikai itu baiknya mengilhami pernyataan Presiden Amerika Serikat
ke-35, John Fitzgerald Kennedy, "Jangan bertanya apa yang negara
berikan kepadamu. Tapi, bertanyalah apa yang bisa kau berikan untuk
negaramu."
Pun halnya dengan Bepe yang mengutip
pernyataan Abraham Lincoln, "Sebuah bangsa yang terpecah dari dalam,
tidak akan pernah tegak berdiri."
Jika kita
adalah bangsa besar, maka rasanya pantas pernyataan itu dijadikan
renungan sejumlah pengurus sepak bola. Kerendahan hati dan jiwa
kepahlawanan dari keduanya sangat dinantikan. Jangan sampai perpecahan
mengorbankan mimpi anak Negeri untuk mencari secercah prestasi bagi Ibu
Pertiwi.